Ketika Perhatian Sebatas Bahasa

[filsafatKecintaan kita kepada saudara kita bukanlah sekedar perhatian semata, lebih dari itu adalah kewajiban manusia sebagai makhluk yang diciptakan sempurna]

Tulisan ini saya tujukan kepada saudaraku khususnya di Kammi. Dalam kata, kita saling bertukar, dan dalam tindakan kita saling merangkul, dan dalam perjuangan pula kita saling berlomba. Tulisan ini tidak bermaksud menyinggung siapa pun dari teman, apa lagi ingin menggungkap sesuatu tentang “diri kalian”, Tidak!. Tidak bermaksud untuk ‘menayangkan, karakter dari masing-masing, Tidak. Tulisan ini sebatas refleksi diri dan evaluasi tentang komunitas dimana kita berada [dalam berjuang].

Tulisan ini sebatas apa yang saya pikirkan tetang diri saya dan pandangan saya terhadap teman dalam melihat banyak hal, dalam menyikapi ‘sesuatu’ yang mungkin saya pribadi berbeda dan memiliki perspektif sendiri dalam memandang.
Saya teringat Februari 2013 lalu, telapak kaki ini mulai menyentuh komunitas yang saya pandang mungkin tidak jauh berbeda dan ‘mirip sama’ dengan komunitas ketika waktu dulu. Komunitas yang saya hadir dan menjadi bagian penentu komunitas tersebut. Komonitas tersebut benama “Kita”. Berawal dari pengamatan dan kekaguman, kemudian bergumul menjadi kumpulan-kumpulan semangat dan motivasi-motivasi yang tanpak pada performance tentang perspektif kita dalam memandang. Sejak itulah ada banyak harapan untuk kita saling melengkapi dalam kekurangan dan saling mengigatkan ketika ‘semangat’ tak berkobar. Pada saat itulah perasaan dan emosi kita bertemu dan membentuk titik kesepadanan dalam rasa, dalam pikiran dan pada jiwa. itulah sekelumit tentang waktu dan keadaan yang terus berjalan.

Waktu terus berjalan dan keadaan tak pernah berhenti untuk menguji. Mungkin dengan cara itu kita saling tahu siapa diri dan orang lain.  Waktu memang hadir untuk berubah, karena perubahan adalah esensi dari tuhan menciptakannya. Jalan pikiran kita tak pernah sama walaupun kita berada pada saat yang sama dan waktu yang sama pula. Setahap demi tahap kekaguman itu mulai redup seiring dengan persuan yang terus menerus, dan dalam suasana seperti itu tingkat pertahanan diri mulai tampak, sikap, bahasa, dan cara kepada orang lain.

`Sosok` memang hadir saat kita mengingatnya. Dan kekaguman kita kepadanya datang saat ada banyak hal yang kita sendiri tidak memilikinya. Kalau boleh jujur, ada “kehampaan dan hambar” menyelimuti komunitas “KITA” saat ini. Kehampaan itu adalah perasaan bersifat kolektif, dan hambar itu adalah gerak pada kesaran diri. Terlalu banyak perhatian yang tidak ‘menghadirkan kesadaran, terlalu sering perhatian itu sebatas ‘kata-kata’. Perhatian yang tidak menghadirkan kesadaran seperti kita memupuki pohon yang mati. Sia-sia belaka. Penghargaan kita kepada seseorang tidaklah diukur sekedar bahasa, tetapi yang lebih penting dari itu adalah sikap dan rasa untuk menghadirkan dirinya dalam pikiran-pikiran kita.

Bahasa memang menjadi simbol penting bagaimana kita kepada orang lain, tentu saja bukan `basa-basi semata`. Ada banyak ajakan dan anjuran yang tidak melahirkan ~kesadaran jiwa~, dan hal itulah yang harus menjadi evaluasi dan bahan refleksi.

Sengaja dalam tulisan saya gunakan bahasa yang sedikit metafor dan tidak bersifat teknis. Saya merasa berat mencari kata yng paling tepat untuk mennyampaikan ini, karena bahasa  `kesadaran diri` adalah bahasa yang saya anggap paling tepat dan subtansi, mewakili kepenatan gan kegelisan. Wallahua’llam.

Komentar ditutup.

Buat Blog di WordPress.com.

Atas ↑