TUAN GURU, ISLAM DAN LOMBOK: SEBUAH PEMAKNAAN SIMBOLIK


Tuan guru: nama yang tidak pernah pudar dari benak masyarakat Lombok secara umum dan suku Sasak khususnya.  Bukan saja karena namanya yang populer, tetapi karena eksistensi dan perannya di bumi seribu masjid telah masuk dalam setiap lapisan kehidupan masyarakat. Tentang tuan guru, selalu mudah untuk ditebak sekaligus dimaknakan. Gagasan Ferdinand de Sausure (Bapak Linguistik Modern dan Semiotika) yang menyebut tanda dengan istilah signifian (penanda) dan signifie (petanda) adalah cara mudah untuk menangkap wujud dari setiap makna yang muncul. Tuan guru dengan eksistensinya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan ‘keberagamaan’ masyarakat Sasak. Bahkan bukan saja yang berkaitan dengan tata cara beragama, kehidupan sosial politik pun tak lepas dari petuah dan cara pandang sang tokoh “tuan guru”. Tuan guru dapat dikatakan menjadi orang yang dinomor satukan, khususnya terkait dengan tata cara bersyariat “hukum-hukum” keagamaan, termasuk dalam pilihan berpolitik.

Mengacu pada pandangan Sausure di atas bahwa ‘tuan guru’ adalah tanda yang ada pada diri sang tuan guru dan ketika masyarakat mengikuti aktivitas dan cara berpikir tuan guru itulah penandanya (signifier). Dengan kata lain, tanda memunculkan penandanya. Tuan guru dengan atribut dan cara berpakaiannya (jubah, surban panjang, topi haji/putih, tasbih, tongkat dan sejenisnya) adalah tanda yang melekat pada dirinya. Selain atribut berpakaian, juga kata-kata berupa fatwa dan nasihat menjadi tanda tersendiri bagi dirinya.

Melalui caranya berdakwah atau menyebarkan Islam melalui majlis taklim dan kegiatan-kegiatan lainnya mucullah makna dari aktivitas tersebut. Semakin lama aktivitas itu dijalankan, semakin kuat makna yang diberikan masyarakat kepadanya. Sebagian masyarakat Sasak memberikan nama tersendiri bagi sang tuan guru berdasarkan apa yang dimaknakan atas dirinya kepada tuan guru. Sebut saja tuan guru Pancor mengacu pada Tuan Guru Zainuddin Abdul Majid yang berasal dari Pancor sebagai tanah kelahirannya dan tempat pesantren yang dibangunnya, tuan Tretetet yang mengacu pada tuan guru Umar Kelayu dan tuan guru Bajang yang dinisbatkan kepada tuan guru KH. Zainul Majdi (Gubernur NTB Periode 2008–2018). Masyarakat hanya memberikan gelar tersebut berdasarkan apa yang mereka persepsikan terhadap sang tuan guru.  

Dalam kaitannya dengan agama, Islam adalah agama yang mayoritas di pulau Lombok. Sebagai agama mayoritas tidak heran banyak orang luar di Lombok menyebut Lombok sebagai ‘pulau seribu masjid’. Sebutan pulau seribu masjid adalah istilah yang pertama kali dikemukakan oleh tokoh sentral dan kharismatik asal Lombok Timur TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid yang sekarang kita kenal sebagai “Pahlawan Nasional”. Hal ini dikarenakan setiap perjalanan yang dilalui pelancong, akan  menemukan majid pada setiap kampung/desa. Di masyarakat Sasak, ada perbedaan nama untuk menyebutkan tempat ibadah seperti masjid dan musollah (surau bhs Jawa). Masjid diistilahkan untuk menyebutkan tempat sholat lima waktu dan digunakan untuk kegiatan sholat jumat. Sedangkan musollah, digunakan sholat lima waktu, tetapi tidak digunakan untuk sholat jumat. Perbedaan ini juga secara umum melekat pada ukuran bangunannya. Masjid memiliki ukuran lebih besar dibandingkan dengan musolla.

Keberadaan masjid menjadi salah satu ukuran dari semangat keberagamaan masyarakat Sasak. Semakin banyak masjid di setiap kampung/desa, semakin semarak semangat syiar keagamaannya. Satu desa bisa saja memiliki dua sampai lima masjid, di luar musollah/surau. Masjid benar-benar menjadi simbol sentralisasi semangat masyarakat Lombok. Perkembangan Islam di Lombok memang dipandang sangat cepat, hal ini tentu saja karena struktur masyarakat yang tradisional dan cara pendakwah (tuan guru) yang menyesuaikan dengan kultur masyarakat Lombok.

Jika diperhatikan dengan seksama, cara keberislaman masyarakat Lombok dengan struktur masyarakat tradisional membuat pemeluk menganggab Islam pada konteks rutinitas, seperti sholat, haji, zakat, bangun masjid dan sebagainya. Islam dalam masyarakat Lombok lebih bersifat ‘profan’. Disebut profan karena para pemeluknya mempersepsikan Islam pada wujud rutinitas dan menganggap sistem aturan dan kemasyarakatan tidak berkaitan langsung dengan Islam yang dijalankan. Hal ini diperkuat dengan cara masyarakat mempersepsikanan tuan guru sebagai orang yang membimbing mereka kepada petunjuk sesuai dengan cara tuan guru. Sebagai biasnya, dalam kegiatan-kegiatan keagamaan yang rutin dilakukan tanpa melibatkan tuan guru, kegiatan akan bernilai berbeda bahkan terasa ‘hampa’, di samping kehadiran jamaah yang bisa dihitung. Fenomena itu semakin memperkuat bahwa tuan guru dan Islam dalam masyarakat suku Sasak (Lombok) telah menjadi satu ikatan struktur yang kokoh. Tuan guru dengan cara keislamannya dan Islam yang dipersepsikan masyarat dari sang tuan guru.

Sebagai satu ikatan struktur, tuan guru dan Islam terus tumbuh dan berkembang di Lombok. Pondok-pondok pesantren sebagai sentral tempat mempelajari Islam telah banyak mengatarkan peserta didiknya berangkat ke Makkah atau Timur Tengah dan nanti sekembalinya ke Lombok telah menjadi tuan guru, entah karena ilmu yang menjadi konsentrasinya itu ilmu agama atau umum, masyarakat tetap akan memanggilnya dengan sebutan “tuan guru”. Di sisi lain, dengan munculnya tuan guru sebagai pendakwah, syiar Islam semakin pesat dalam wujud yang profan karena masyarakat hanya mendengar dan menjalankan apa yang dikatakan tuan guru.

Dalam perspektif leksikon, Lombok dimaknakan dengan ‘lurus’ atau jujur. Masyarakat Sasak lurus dalam mengikuti perintah tuan guru dan tidak sewenang-wenang dalam memperggunakan otoritas. Sebagai ‘pulau seribu masjid’, nama Lombok menjadi “ikon” dalam bahasa Pierce telah memperkuat persepsi orang luar Lombok bahwa Lombok adalah kumpulan orang-orang yang patuh dan taat kepada ajaran agama (Islam) dengan sifat kebersamaan dalam kegiatan gotong royong membangun tempat ibadah seperti masjid dan sekolah/madrasah. Semangat membangun sesuatu yang dianggap sakral menjadi prioritas dilakukan, di samping masjid secara umum menjadi lambang tempat suci umat Islam. Dengan demikian, Tuan Guru, Islam dan Lombok adalah satu segitiga ‘primadona’ di wilayah Lombok, Nusa Tenggara Barat. Memaknai identitas lokal adalah manifestasi dari perjalanan ruang dan waktu satu kebudayaan. Usaha sadar dalam menafsirkan adalah wujud dari kecintaan seorang pemilik kebudayaan.

Telah terbit di media onlie Wartarinjani.net (21/10/2021) https://wartarinjani.net/2021/10/21/tuan-guru-islam-dan-lombok-sebuah-pemaknaan-simbolik/?fbclid=IwAR0Pfc9AU7RxHUT5eqNxoBpUwSZgRWJ-x7KwWscYKjVCC4wfRLzIS4z1HyE

Komentar ditutup.

Buat Blog di WordPress.com.

Atas ↑