Guru dan Peradaban Manusia

Guru dan Peradaban Manusia: Mengenal Kembali Spirit Kenabian

Sebuah ungkapan, “guru sang pahlawan” menjadi tagline saat bangsa Indonesia memasuki tanggal 25 November sebagai Hari Raya Guru Nasional. Ya, sebuah momentum nasional dengan memperingati perjuangan para guru Indonesia. Para guru yang telah memahat dirinya untuk menjadi pendidik, mendidik anak-anak negeri menuju cita-citanya. Perjuangan mendidik anak-anak negeri hingga menjadi manusia sesuai dengan apa yang diharapkan segenap pendiri bangsa: menjadi penerus generasi tua, menjadi estafet kepemimpinan di masa yang akan datang. Masa di mana generasi tua menikmati masa tuanya dengan menyaksikan anak-anak negeri yang telah di didiknya bermetamorfosis menjadi pemimpin negeri yang mengayomi, meneladani, serta menghormati para pendiri bangsa (founding fouder). Ya, itulah impian dari para guru. Hanya untuk “menjadi yang lebih” dari dirinya.

Guru adalah matahari peradaban. Matahari yang menerangi kegelapan ketika manusia tanpa arah. Matahari yang memberikan warna – warna dalam peradaban manusia. Dengannya, manusia mengenal dirinya sebagai manifestasi dari puing-puing peradaban. Karena gurulah, sumber etika, logika dan estetika dimulai. Melaui dirinya pembelajaran tersempaikam, manusia mulai menghargai dan menjunjung tinggi peradabannya.

Dalam perannya, guru tidak membutuhkan peringatan, upacara atau pun kegiatan seremonial lainnya. Peringatan atau upacara yang dibutuhkan guru adalah saat mantan muridnya mengakui bahwa dia adalah gurunya, walaupun sejatinya tidak dibutuhkan sang guru. Ketindihan sang murid untuk mengakui gurunya adalah esensi dari keterikatan hati (ta’liful qulub) antara seorang guru dengan muridnya. Kesan inilah yang seyogyanya melekat dari diri seorang murid kepada sang guru kapan dan di mana pun ia berada. Taklah berarti menjadi apa kita tanpa didikan sang guru. Taklah berarti deretan gelar yang menempel pada nama depan dan belakang kita tanpa peran guru dalam mendidik dan mengajarkan. Guru adalah semua dari mereka yang telah berjasa kepada kita. Tidak terbatas profesi apa yang melekat pada dirinya. Mereka adalah yang membuat kita menjadi hari ini. Guru, sang pahlawan tanpa jasa.

Adalah guru, peran kenabian dia tunaikan. Peran dalam mencerahkan manusia. Membimbing manusia pada kodrat penciptaannya. Mengembalikan manusia kepada sejatinya manusia untuk apa diciptakan, “Aku tidak menciptakan jin dan manuia selain beribadah kepadaku” (Q.S.51:56). Dengan kemulian perannya, guru adalah pewaris kenabian. Pada konteks inilah, menelantarkan guru dengan tidak memberikan hak-haknya, tidak memuliakannya, dan melawannya atas nama hak asasi manusia (HAM) dan hukum sama dengan memutuskan tugas-tugas dari kenabiannya. Mematikan pondasi peradaban yang sedang dia bangun.

Dengan peran kenabian yang dibawanya, guru tak lantas sempurna. Dia adalah manusia biasa pada umumnya sebagaimana nabi manusia biasa yang tuhan memilihnya. Namun demikian, guru bukanlah nabi. Perannyalah yang menyandangkan predikat dia sebagai pewaris para nabi. Bukan pada ilmu dan kelebihan-kelebihan yang dimilikinya, tetapi pada usahanya untuk membentuk pondasi peradaban manusia. Dan mesti diakui, guru telah mewarisi apa yang disebut dengan “mahkota peradaban”, karena dengannya gumpalan-gumpalan dari otak peradaban peserta didiknya diuraikannya dengan penuh penghayatan, keikhlasan dan kemauan yang keras untuk mengajarkan hingga tuntas. Sebuah proses pembelajaran yang panjang sekali.

Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia telah memproklamirkan slogan Tri-Nga-ya sebagai aspek penilaian untuk mengukur tingkat keberhasilan peserta didik. Slogan Tri-Nga-ya, berupa Ngerti (aspek kognitif), Ngrasa (aspek afektif), dan Nglakoni (aspek psikomotorik) sebagai konsep yang memproduksi peradaban manusia melalui tugas dan tanggung jawab guru dalam mengemban misinya, membentuk karakter yang kuat pada diri setiap peserta didik. Selain itu, peran kepemimpian yang sejak awal telah ditanamkan oleh guru melalui kegiatan belajar mengajar. Peran kepemimpian inilah yang oleh Ki Hajar Dewantara disebut dalam bahasa Jawa sebagai proses In Ngarso Sun Tulodo, Ing Madyo Mbangun Karso, dan Tut Wuri Handayani. Di depan, menjadi contoh/teladan, di tengah, untuk mengayomi/membimbing, dan di belakang: mendorong dan memotivasi peserta didiknya.

Guru, dengan segala kiprahnya, menjadi pondasi peradaban. Menjadi pewaris kenabian. Selamat hari Guru Nasional, Guru cahaya peradaban.

@lukmanul_hakim_ab

Komentar ditutup.

Buat Blog di WordPress.com.

Atas ↑