Mengingat Kembali Sumpah Kita

Kini, kafilah itu mulai berlari. Menggetarkan jagad kedigdayaan. Mengobarkan aura kemenangan yang kian menanti. Sepertinya ‘sumpah kesetian’ mulai menerpanya.

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengata-kan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)” (QS. Al A’raaf [7]: 172)

Beberapa hari ini, kita telah dikejutkan dengan hiruk pikuk pertarungan politik di negeri ini. Pada saat negeri dilanda dengan musim kemarau, kekurangan air bersih, kabut asab, kebakaran hutan dan gunung meletus dan kejadian alam lainnya melanda sebagian wilayah Indonesia, di atas sana terlihat permainan yang cukup geli ditunjukkan oleh para pejabat dan politikus kita, memamerkan sifat kekanak-kanan dan jauh dari semangat para pendahulu bangsa. Semangat gersang diantara dua kubu Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang dimotori oleh PDIP dan Koalisi Merah Putih (KMP) belustan Prabowo benar-benar membuat rakyat tersandara. Bagaimana tidak! Setelah pelantikan cukup lama dan pelantikan presiden terselesaikan, anggota DPR kita belum menujukkan semangat untuk bekerja sebagaimana yang diharapkan oleh presiden baru Jokowi-JK dengan kabinet Kerja yang dibuatnya. Rakyat benar-benar dipertontonkan dengan cara-cara di luar kebiasaan bahkan membacing rakyat untuk terlibat dalam permainan mereka. Sungguh, sangat jauh dari norma dan nilai-nilai dasar pancasila. Apa lagi akhir-akhir ini dengan dibuatnya DPR Tandingan versi Koalisi Indonesia Hebat membuat rakyat semakin geli dan jenuh. Mungkinkah kita lupa dengan sumpah setia kita? Atau mungkin kita terlena oleh buaian syahwat atas kreasi dunia yang Tuhan ciptakan? Nah, tulisan ini mencoba menggali narasi dari sumpah manusia kepada tuhan dan sumpah manusia pada dirinya sendiri.

Penyaksian Yang Terlupakan

Seperti kutipan al quran surat Al A’raaf ayat 172 di atas, terlihat jelas bahwa ketika manusia dalam alam roh, Allah telah meminta manusia untuk bersyahadah atas dirinya kepada tuhan akan tanggung jawab yang akan diemban ketika dirinya berada di dunia (alam ke dua setelah alam ruh) untuk menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya. Dan pada saat itu, manusia menyepakati penyaksian tersebut dengan mengucapkan qālū balā syahidnā (Mereka menjawab, “Benar [Engkau adalah Rabb kami], kami menjadi saksi”). Artinya, pada saat itu manusia benar-benar mengetahui dan mengakui bahwa Engkau adalah Rabbnya. Namun demikian, tentu saja ketika kita telah lahir (dunia) kita melupakannya. Pada konteks yang lebih luas, kita sering melupakan apa telah kita saksikan atau terlupakan atas apa disepakati. Padahal sejatinya, mengakui dan menyadari akan komitemen terhadap apa yang menjadi tugas dan tanggung jawab kita adalah komiten kita kepada nurani kita dan tentu saja Tuhan selaku saksi di atas penyaksian manusia.

Pada tingkatan yang lebih kecil, sebut saja misalnya profesi guru adalah komitmen diri kita terhadap nurani kita untuk mendidik anak-anak bangsa menjadi manusia seutuhnya. Menjadi guru bukanlah karena sesuatu yang dengan sendirinya terlahirkan. Dengan bimbingan, metode, dan aturan-aturan di dalamnya harus terpenuhi sehingga apa yang menjadi tujuan dari profesi tersebut dapat diwujudkan dalam durasi waktu yang telah ditentukan. Guru sebagai panggilan tuhan untuk menyebarkan risalah kenabian. Menjadi keharus untuk menjaga nilai-nilai etikan kependidikan. Dengan memerhatikan hal tersebut, maka seorang guru telah kembali pada sumpahnya, pada janjinya sebagai guru.

Komitmenmu sebagai Sumpah Setia

Kesetian adalah kesabaran yang terujikan. Pada kesetian itulah telah tertanam komitmen. Komitmen terhadap dirinya dengan apa yang disetiakan dan komitmen itu mengembalikannya pada fitrah sebagai manusia. Manusia yang tertunaikan janji-janjinya.

Kita dalam kehidupan bermasyarakat akan mencitrakan diri dengan apa yang kita lakukan, apa yang kita ucapkan. Seyogyanya setiap orang dapat menjaga komitmennya terhadap apa yang telah menjadi pilihannya. Setidaknya, hari-hari yang kita jalani menjadikan komitmen kita terus ter-upgrade dengan hal-hal yang memperkuat tujuan dari komitmen itu sendiri [Maman Abdullah [02/11/2014].

Komentar ditutup.

Buat Blog di WordPress.com.

Atas ↑