REFLEKSI SEMANGAT “KESANTRIAN” DI PULAU SERIBU MASJID

Tanggal 22 Oktober merupakan puncak dari Hari Santri Nasional (HSN). Satu penghargaan dari kepala negara atas perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia dengan keterlibatan para ulama dan santrinya melawan ‘penjajah’. Sebuah momentum penting dalam sejarah perjuangan dan pergerakan bangsa Indonesia merebut kemerdekaan. Hak Kemerdekaan sebagai nilai dasar dari hak asasi manusia (HAM).

Keterlibatan pemimpin agama (ulama) khususnya pemuka agama Islam (kiai di Jawa, buya di Sumatera Barat, teungku di Aceh, tofanria di Sulawesi Selatan, bendera, bindara atau nun di Madura, dan tuan guru di Lombok) dan beragama istilah lainnya yang sekaligus menjadi pemimpin masyarakat diberbagai penjuru nusantara menjadi bagian dari perlawan mengusir penjajah sebagaimana yang digagasn dan “dikumandangkan” oleh Hadratus syeikh KH. Hasyim Asyari dengan tagline “resolusi jihadnya” tanggal 22 Oktober 1945.

Resolusi jihad sebagai termenologi agama juga mengandung semangat nasionalisme dalam upaya mendukung perjuangan melawan berbagai bentuk penindasan dan penjajahan. Fakta sejarah tentang resolusi jihad dapat dengan ringkas kita baca dari tulisan Rif’atuz Zuhro (2017) dengan judul “resolusi jihad dan hari santri nasional”. Diantara pokok-pokok resolusi jihad, yakni (1) kewajiban mempertahankan kemerdekaan Indonesia, (2) kewajiban mempertahankan pemerintahan yang sah, (3) penegasahan tentang bangsa penjajah seperti Belanda, Inggris, dan Jepang, (4) kesiapan mengangkat senjata, dan (5) kewajiban setiap orang untuk ikut berjihad pada jarak radius 94 km. Lima poin resolusi jihad tersebut menjadi “api” yang membakar semangat segenap para kiai dan santri diberbagai penjuru nusantara.

Tentang semangat hari santri, khususnya di pulau seribu masjid – sebutan untuk Pulau Lombok Tak heran jika “Makam Pahlawan” di Selong, Lombok Timur menjadi saksi keterlibatan tuan guru dan para santrinya. Keterlibatan mereka terekam dalam sejarah perjuangan Lombok tak bisa dianggap biasa. Tuan guru, sebutan untuk seorang ulama di Lombok memiliki peran dalam ganda dalam kehidupan sosial masyarakat Lombok pada masanya. Selain sebagai pemimpin agama juga sebagai orang yang dituakan. Berbagai hal selalu ditanyakan kepada tuan guru. Dahulu hingga sekarang. Nama tuan guru dengan santri dan jamaahnya yang banyak menjadi bagian yang tak terpisahkan dari ‘ketokohannya’. Melalui berbagai lembaga yang didirikan dan dikelolanya, secara khusus majlis pengajian dan madrasah binaannya telah mampu melahirkan banyak pejuang-pejuang kebangsaan, pergerakan kemerdekaan khususnya di masyarakat Lombok dan NTB pada umumnya.

Tokoh tuan guru di Lombok memiliki peran yang sangat besar dalam mempengaruhi kehidupan sosial, politik dan keagamaan masyarakat Sasak. Sasak adalah suku terbesar yang mendiami Pulau Lombok. Perannya yang sangat besar dan fundamental yang telah mempengaruhi kepercayaan masyarakat suku Sasak yang sebelumnya masih memeluk Animisme–Dinamisme. Islam menjadi kepercayaan mayoritas diantara beberapa agama yang ada seperti Hindu dan Budha. Melalui tokoh tuan guru dan santrinya yang tersebar di Pulau Lombok dan sekitarnya telah membawa corak keagamaan yang khas, baik dari sisi praktik ataupun dalam cara pandang (pemikiran).

Dalam hubungannya dengan “semangat kesantrian”, praktik ibadah cenderung dan turut atas apa yang dipraktikan tuan guru selaku panutan. Demikian halnya dengan semangat sosial yang terbangun ‘cenderung’ ada pandangan tuan guru dibaliknya. Perwujudan ini menjadi lumrah dan diterima oleh masyarakat Sasak pada umumnya. Semangat inilah yang menjadikan masyarakat Sasak loyal dan bahu membahu dalam berbagai kegiatan keagamaan, termasuk dalam menentukan siapa yang akan memimpin mereka.

Diantara tokoh-tokoh keagamaan (tuan guru) yang “populer” dan hidup di masanya seperti TGH. Umar (Kelayu), TGH. Muhammad Saleh (Lopan), TGH. Muhammad Saleh (Lopan), TGH. Mustafa (Kotaraja), TGH. Badarul Islam (Pancor), TGH. M. Shaleh Hambali (Bengkel), TGH. Muhammad Mutawalli Yahya Al Kalimi (Jerowaru), TGKH. Muhammad Zaenuddin Abdul Majid (Pancor), dan TGH. Mahsun (Masbagik) merupakan tokoh yang berpengaruh di masa penjajahan. Keterlibatan tokoh-tokoh tersebut di akhir penjajaha Belanda juga, telah membuat Sasak terlepas dari kekangan kerjaaan Karang Asem, Bali. Dari tokoh-tokoh inilah, lahir ribuan santri yang tersebar di berbagai wilayah NTB khususnya, dan Indonesia pada umumnya.

Keberadaan tuan guru dengan seluruh santrinya telah mewarnai Lombok dengan terus bertambahnya berbagai lembaga pendidikan islami, majlis-majlis pengajian, pantai asuhan, termasuk bertambahnya jumlah tempat ibadah (masjid). Terbangunnya masjid dan musollah di dusun-dusun terpencil menjadi nilai moral dan estetis’ dari sebutan “Lombok pulau seribu masjid”. Tanggung jawab moral bagi tuan guru karena tugas yang melekat padanya dan estetis bagi siapa saja yang melihat landcape Lombok dengan segala keunikan di dalamnya.

Sebagai sebuah refleksi dan catatan panjang sejarah Lombok (suku Sasak), Dr. Salman Faris seorang Budayawan dan Peneliti asal Lombok memberikan “peringatan” kepada kepada segenap masyarakat suku Sasak, dalam hipotesisnya tentang akan hilangnya Suku Sasak sebagaimana yang tertuang dalam tulisannya “Sasak Hilang Sasak” (https://www.sasak.org/, 21/11/2020). Pada penjelasannya, sang budayawan berusaha menujukkan tiga aktor yang mewarnai seluruh sejarah kehidupan masyarakat Sasak, yaitu tuan guru, kaum elit, dan penjajah. Pada tokoh ‘tuan guru’, disebutkan tidak mengalami perubahan. Dia tetap dengan dirinya sendiri sebagaiman tugas dan pandangan masyarakat yang melekat padanya. Tetap pada kewajibannya sebagai “penjaga umat”. Sedangkan ‘elit Sasak’, berubah pada wujud yang lebih ‘halus’ dan “merajai” berbagai perpolitikan. Demikian halnya dengan ‘penjajah’ yang terus beradaptasi dengan zamannya hingga pada bentuk dan wujud yang asli, yakni “kapitalis”. Adalah keniscayaan untuk terus belajar membaca dan memahami kembali sejarah perjuangan “kaum santri” dalam upaya memperkoh generasi muda dalam membela tanah air dalam makna yang lebih luas.

Pada akhirnya, semangat Hari Santri Nasional (HSN) menjadi upaya penguatan nilai-nilai kedaerahan yang telah mengakar dan mempersatukan berbagai kepentingan untuk tujuan-tujuan besar. Menjadi bagian dari penguatan nilai-nilai “kesepakatan” nasional yang terutuang dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila sebagai dasar negara, di samping upaya dalam memelihara dan mempertajam sejarah dan tidak melupakannya.

Telah terbit di media online Wartarinjani (24/10/2021) https://wartarinjani.net/2021/10/24/refleksi-semangat-kesantrian-di-pulau-seribu-masjid/

Komentar ditutup.

Buat Blog di WordPress.com.

Atas ↑